Oleh:Soetjipto Wirosardjono
Kolom: INTERMESO
Majalah MATRA No.3/Oktober 1986
Ditulis ulang:Purnomo Iman Santoso
Ada saatnya,ketika pidato di depan umum diakui sebagai cabang keahlian.Bahkan seni dan ilmu.Jaman dulu kepintaran ngomong bisa dijadikan sumber penghidupan;sarana mencari sandang pangan.misalnya tukang ngaturi(juru penyampaian undangan/khabar peralatan),dan tukang bende(juru pengumuman).Bahkan kini untuk pengacara temantenan dan kematian,juru ngomong bisa disewa.Sejarah kebudayaan kita rupanya juga dibangun di atas onggokan omongan demi omongan.Dongeng,pantun,pepatah petitih.Bahkan dalang,kentrung,dan juru cerita merupakan simpul-simpul ekspresi budaya yang dikenal sejak jaman dulu kala.Karena itu, retorika menjadi cabang keahlian yang digemari.Bahkan disegani.Ada pula yang disakralkan.Contoh-contoh seperti Bang Jait di Jakarta,atau Ki Narto Sabdo di Jawa tengah,yang kuat bicara semalaman,dianggap sebagai pahlawan.
Tetapi kini, cita rasa budaya mulai berubah.Dalam kosa kata sehari-hari,pintar ngomong secara implisit diartikan sebagai tak kerja.Atau cakap berdalih untuk mengelak dari tanggung jawab.Sehingga pintar ngomong ialah sebutan yang merendahkan martabat.Pidato juga bukan lagi merupakan pekerjaan yang mengangkat derajat.Karena, bagi anak muda,mendengar pidato artinya hampir sinonim dengan siap menerima omong kosong tanpa makna.
Bila ada pembicara yang irama pidatonya mempesona,paling banter ia menjadi semacam tokoh pelipur lara, juru penghibur gratis,boleh didengar bila waktu mengizinkan.Mendengarkan pidato hampir tak ada pengaruhnya pada peningkatan kecerdasan budaya.Karena di samping sebagai hiburan,pidato ialah bagian sopan santun upacara.Tetapi orang toh tidak belajar dari perubahan cita rasa itu.Banyak pemuka atau tetua yang terus kepingin ngomong.Bangga berpidato.Senang berbicara panjang di depan khalayak.Bahkan,ditilik dari olah tangan dan arah tergoleknya kepala,bagi sementara orang,pidato ialah sebuah pernyataan cita rasa.Kesan saya,para nara wicara itu kurang peduli apa omongannya didengar oleh khalayak.Coba perhatikan wajah pendengar yang pasang muka bosan atau bengong bersopan-sopan di depannya.
Pidatowan hakikatnya senang mendengar suaranya sendiri.Barangkali kagum isi omongan panjangnya.Barangkali tersalurkan naluri mimbarnya.Sinyalemen ini bisa dibaca dari pajangan wajah,rekaan mimik,gerak tangan,dan kedip mata yang penuh rasa nyaman diri(self fulfilment). Si tukang ngomong itu,selama berpidato.Tidak peduli,apakah khalayak mendengarkannya.Persetan,apakah mereka mengerti atau tidak maksud omongannya.Bahkan,biar saja,bila pembicaraannya yang lama,ngelantur dan bertele-tele berarti siksaan bagi orang banyak yang terpaksa jadi pendengar.
Irama melengking atau mengiba-iba dari bacaan teks pidato yang disiapkan orang lain,biar berisi omongan yang kosong pun jadi.Karena lengking dan iba itu rupanya lebih ditujukan pada jati diri si pidatowan,daripada informasi bagi pendengarnya.
Di Uni Soviet,konon,sangatlah biasa seorang perdana menteri pidato tujuh jam lamanya.Juga di Kuba.Itulah gambaran tirani orang pidato.memaksakan teriakkan ke kuping khalayak pendengar,tanpa peduli,informasi, siksaan, atau hiburan yang ia bawakan.Padahal semua tahu,ulah itu lebih sering menyiksa.Padahal mereka tahu,jajaran manusia yang bersopan santun memperhatikan tingkah lakunya,bertepuk tangan menyekoki ego mimbarnya pada hakikatnya bermaksud menyuap harga diri si pembicara.
Bahkan budaya ngomong ngelantur itu serasa racun bagi khalayak yang makin cerdas.Saya pernah menerima keluhan seorang teman yang merasa diracuni omongan gombal semacam itu.Ia pendengar yang tulus,pemerhati yang jujur.Bila seseorang berpidato,ia rajin menyimak.Berkali-kali ia menghadapi omongan berbagai tokoh.Tetapi lama-lama ia mencatat proses pembodohan itu.Banyak pidatowan yang tabularasa luar biasa tebalnya.Di samping pidatonya selalu panjang,tangannya selalu sraweyan,gentayangan.Muka,wajah,dan senyum yang dipasang setiap kali pidato selalu mencerminkan irama.Tetapi isi pidatonya,Astagafirullah,kosong melompong belaka.
Biarpun belum pernah dibikin statistiknya,proses pembodohan itu mudahlah disimpulkan.Bila sang tokoh berpidato lama,coba perhatikan dan cari makna omongannya.Saya berani bertaruh,pasti sulit menerka apa yang ingin ia kemukakan.Karena itu,lain kali,nasihat saya jangan cari isi pidato panjangnya.Cukup tafsirkan mimik wajahnya dan susunan kalimat serta pilihan kata yang diuntai dan dirangkai panjang dalam pidatonya itu.Maka kita pun akan tahu ,pada lima belas menit pertama dibuka dengan Assalamualaikum kesana,yang terhormat kesini,terima kasih dan penghargaan kemana-mana.Pada giliran lima belas menit kedua,dia mulai membual tentang diri,impian dan uneg-unegnya.Mulailah berulang-ulang ungkapannya mbulet jalan pikirannya,yang membikin pendengar bingung,sesungguhnya ia mau bilang apa!
Bahkan,bila Anda sabar menunggu sampai seperempat jam yang ketiga dan seterusnya,itulah puncak makna pidatonya.Wajah mulai garang.Tepat sebutan singa panggung buat dia.Tetapi sang pidatowan sendiri tampak sekali sudah tak tahu lagi,apa maksud rangkaian kata-kata indahnya yang tak terkendali nyerocos dalam ungkapan pidatonya.
Bila sidang pendengar kebelet menyambung gegap gempita,tepuk tanganpun karenanya boleh ditempel dimana saja.Toh tak akan ada bedanya.Apakah itu tanda pernyataan kekaguman,kejengkelan atau sopan santun pertemuan belaka.
Karena itu,hai kawula muda!Belajarlah bicara seperlunya.Kendalikan setiap patah kata,biar Anda faham benar apa maksud yang Anda ucapkan itu.Jangan malu,bila bicara cuma beberapa menit saja.Asal manis,memikat,tak berulang-ulang dan asli mencerminkan kepribadian Anda.Orisinal ungkapannya,hemat kata,tetapi jelas maknanya.Jenaka pun boleh,asal tahu tempat dan batasnya.Asal persis menempel konteksnya.Itulah seni bicara yang berbudaya.Itulah adab ngomong orang yang encer otaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar